Neo-Demokrasi
Ekbis Jatim Opini

English Communication Skills: Kebutuhan Karir atau Kompetensi Imajiner?

DR Nanis Setyorini, S.Pd, M.Pd. Dosen tetao STIESIA SURABAYA

D

 

Di era globalisasi saat ini, bahasa Inggris memegang peranan penting dalam menunjang karir seseorang. English skills merupakan kemampuan komunikasi berbahasa Inggris secara lisan dan tulisan, untuk mendukung ketrampilan teknis di dunia kerja. Karenanya, para pemangku kebijakan instansi pendidikan menyatakan komitmennya untuk membekali lulusan dengan hard skills dan soft skills yang relevan dengan bidang pekerjaan yang dipilih. Namun sayangnya, hasil riset menunjukkan ketidak seimbangan antara dua kompetensi tersebut sehingga para pengusaha menganggap lulusan perguruan tinggi tidak siap bekerja.  Media juga menjelaskan bahwa perusahaan masih harus menyiapkan pelatihan khusus setelah rekrutmen, agar para pekerja baru mampu mengejar ketertinggalan mereka di dunia kerja. Problematika ini bisa mengundang tanda tanya bagi masyarakat, apa sebenarnya yang terjadi antara dunia pendidikan dan dunia kerja.

Pada paparan ini, penulis tidak membahas semua bidang dari komponen hard skills dan soft skills, tetapi hanya memberikan satu variabel yaitu English skills bagi pengembangan karir seseorang. Kemampuan berbahasa ini masuk dalam komponen soft skills yang secara umum mencakup communication skill, leadership (kepemimpinan), analisis informasi, berpikir kritis, public speaking, networking, manajemen waktu, kemampuan bekerjasama, berkolaborasi dengan tim, kemampuan beradaptasi dengan lingkungan kerja, dan problem-solving skill. Penulis akan memperluas realita pembaca dalam membedakan posisi English skills sebagai kompetensi yang sebenarnya dibutuhkan untuk peningkatan karir atau hanya ‘kompetensi imajiner’ masyarakat Indonesia. Sehingga para stakeholders instansi pendidikan dan perusahaan dapat bersinergi menemukan strategi yang efektif guna meningkatkan ketrampilan teknis dan non-teknis para lulusan perguruan tinggi yang akan masuk dunia kerja.

Bahasa adalah alat untuk mengkomunikasikan informasi antar manusia untuk mencapai tujuan tertentu. Tanpa penggunaan bahasa yang tepat, komunikasi dianggap tidak efektif dan tidak dapat menyampaikan pesan dan data dengan benar. Karenanya, pembelajaran bahasa Indonesia diberikan sejak Sekolah Dasar sampai dengan Perguruan Tinggi, agar semua siswa dan mahasiswa mampu berkomunikasi dengan baik dan tepat. Seiring dengan berkembangnya peradapan dunia, maka kemampuan berbahasa asing juga menjadi penting agar kehidupan antar bangsa bisa lebih harmonis.

Di dunia bisnis, keterampilan komunikasi berguna saat melakukan kegiatan harian di perusahaan. Kemampuan berkomunikasi dalam bahasa asing juga menjadi daya saing bagi calon pegawai. Salah satu bahasa asing yang sangat dibutuhkan saat ini adalah bahasa Inggris yang sudah dianggap sebagai bahasa global. Banyak media menyatakan bahwa bahasa Inggris merupakan alat pemersatu para pelaku bisnis dari seluruh dunia. Memiliki English skills baik lisan dan tulisan yang cukup juga dapat menunjang profesionalisme seorang pegawai. Mereka akan mempunyai kemampuan dalam melakukan negosiasi dengan calon investor asing, mempresentasikan proposal penawaran investasi, melaporkan pencapaian kinerja perusahaan dan penjualan produk, membuat iklan produk dan jasa, mengkomunikasikan laporan bisnis dan data keuangan kepada manajemen perusahaan, serta menulis laporan akuntansi bilingual (bahasa Indonesia dan bahasa Inggris).

Semua kegiatan tersebut tentu saja menyesuaikan dengan jenis perusahaannya.  Pada perusahaan multinasional memang penting merekrut karyawan yang mampu berbahasa Inggris dengan baik untuk meningkatkan kinerja perusahaan. Disini, para karyawan harus berkomunikasi dalam bahasa yang dipahami semua karyawan dari beragam negara. Masing-masing mempunyai tugas menjelaskan detail teknis kegiatan kantor kepada rekan kerja, pimpinan, dan pihak terkait yang ada di berbagai negara. Sedangkan di perusahaan lokal dan nasional, perekrutan karyawan dengan English skill yang cukup akan mendukung suksesnya perusahaan, misalnya dalam rangka ekspansi perusahaan dan kerjasama dengan investor asing. Konteks seperti inilah merupakan gambaran English skills sebagai ‘kebutuhan untuk pengembangan karir’. Contoh-contoh kegiatan nyata ini perlu disampaikan kepada mahasiswa di kelas Bahasa Inggris untuk melengkapi technical skills yang sudah dipelajari di kampus, seperti: ilmu ekonomi, pemasaran, akuntansi, teknik, computer grafis, dan lainnya.

Bahasa Inggris juga berperan menunjang perekonomian perusahaan Indonesia di masa pandemi. Para pebisnis memutar strategi penjualan produk dan jasa melalui media digital, email, websites, dan platform online. Pasar perdagangan sudah dibuka secara global sehingga diperlukan karyawan yang mampu menulis informasi produk dengan bahasa Inggris yang bisa dipahami konsumen dari negara lain. Konteks inipun menempatkan English skill karyawan sebagai kompetensi sesuai kebutuhan pasar. Selanjutnya  karyawan dengan kemampuan bahasa ini akan mendapatkan promosi kenaikan pangkat, dan ini tentu berpengaruh pada kenaikan status ekonominya sendiri.

Namun demikian, masyarakat seringkali memposisikan English skill sebagai ‘kompetensi imajiner’. Mereka cenderung menggambarkan English skill sebagai kemampuan yang tidak sebenarnya, hanya sebagai imajinasi kehidupan sosial dan kelayakan ekonomi yang akan didapatkan karyawan jika bisa berkomunikasi dalam bahasa Inggris dengan baik. Di banyak media cetak maupun media digital, bahasa Inggris diimajinasikan sebagai “bahasa global” untuk mendapatkan pekerjaan yang baik, mengakses pendidikan yang baik, dapat memiliki lebih banyak peluang profesional, dan memiliki kehidupan yang sukses. Banyak orang mengidentifikasikan sukses sebagai kenaikan status sosial dan ekonominya hanya karena bisa bahasa Inggris. Pemikiran ini tidak salah, namun kita harus menyadari bahwa pernyataan itu adalah bentuk simbolis dari kegunaan bahasa Inggris. Padahal dalam kenyataannya, banyak juga lulusan perguruan tinggi tetap bisa berjaya, meski dengan kemampuan bahasa Inggris-nya biasa-biasa saja.

Kompetensi imajiner bisa dikaitkan pula dengan sertifikasi kemampuan bahasa Inggris. Banyak perusahaan meminta sertifikat kemampuan bahasa Inggris sebagai salah satu prasyarat masuk perusahaan. Untuk itu para calon pegawai mencari sertifikat seperti TOEFL, TOEIC, IELTS, dan lainnya baik dari lembaga nasional maupun internasional. Beberapa iklan lowongan kerja mensyaratkan skor TOEFL lebih dari 400 atau TOEIC 500. Mengacu pada data internasional, skor tersebut setara dengan  skor IELTS 4.0 hingga 5.0 yang menunjukkan masih di bawah standar kemampuan bahasa Inggris yang disyaratkan oleh perusahaan multinasional. Perusahaan Jepang, misalnya, mengharuskan karyawannya dengan skor TOEIC minimal 730, yang setara dengan IELTS 6.0 hingga 6.5. Dengan demikian, standar tes bahasa Inggris di Indonesia masih sangat rendah dan kurang memenuhi persyaratan English proficiency perusahaan multinasional.

Dari hasil penelitian, para manajer perusahaan lokal dan nasional di Surabaya menyampaikan bahwa sertifikat TOEFL tersebut hanya sebagai formalitas untuk memenuhi dokumen perekrutan kerja. Mereka mengakui jika bahasa Inggris jarang sekali dipakai saat wawancara kerja. Hal ini tentu tidak sesuai dengan persyaratan di lowongan pekerjaan yang meminta pelamar memiliki kemampuan bahasa Inggris lisan dan tulisan agar bisa diterima di perusahaan. Pada kenyataannya, ketika sudah diterima di perusahaan, para pekerja sangat jarang menggunakan bahasa Inggris di kegiatan harian kantornya. Ketidaksesuian inilah yang disebut sebagai kompetensi imajiner dari English skills. Permintaan sertifikat kemampuan bahasa Inggris hanya sebagai formalitas saja, karena fakta menunjukkan banyaknya karyawan tidak memiliki English communication skills. Fenomena kompetensi imajiner tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di banyak negara lainnya, seperti Thailand, Ukraina, dan lainnya.

Kenapa fenomena kompetensi imajiner ini bisa terjadi? Hal ini karena English skills disimbolisasikan oleh masyarakat pada umumnya sebagai akibat adanya globalisasi dimana pergerakan perdagangan bebas masuk ke Indonesia. Yang lebih berat lagi, tenaga kerja asing yang mempunyai kemampuan bahasa Inggris lebih baik dari lulusan Indonesia juga sudah bebas masuk ke Indonesia. Banyak bukti menunjukkan jabatan-jabatan penting perusahaan lebih banyak dipegang oleh orang asing. Karenanya perlu kiranya pemerintah menciptakan regulasi yang jelas, dan para petinggi perguruan tinggi juga menempatkan strategi yang tepat.

Karenanya kurikulum pendidikan tinggi perlu menyeimbangkan antara teori dan praktek berkomunikasi pada pengajaran bahasa Inggris. Dosen tidak hanya menjelaskan tentang English Grammar tetapi juga harus melatih ketrampilan mendengarkan (listening skill), kemampuan membaca (reading skill), ketrampilan menulis (writing skill), dan kemampuan berbicara (speaking skill). Keempat aspek tersebut sebenarnya perlu diberikan lebih dari empat semester sehingga para lulusan benar-benar mampu menyampaikan pendapat baik lisan dan tulisan dalam bahasa Inggris dengan benar. Jumlah jam belajar lebih banyak ini juga membantu mahasiswa mengerti cara menjawab soal-soal tes kemampuan bahasa Inggris seperti TOEFL dan lainnya. Dari sisi mahasiswa, latihan bahasa secara regular akan menyadarkan mahasiswa akan proses belajar bahasa asing yang tidak bisa dicapai dengan instan. Mereka harus diberi pemahaman bahwa kemampuan bahasa Inggris itu membutuhkan latihan yang berkesinambungan.

Dari sisi dosen, kebanyakan berlatar belakang pendidikan S2 dan S3 Pendidikan Bahasa Inggris atau Sastra Inggris. Mereka bukanlah praktisi dalam karir tertentu, sehingga terjadilah para dosen hanya menguasai teori tanpa mengetahui kasus-kasus penggunaan bahasa Inggris di dunia kerja. Dosen Bahasa Inggris juga kurang luas realitanya terhadap kebutuhan bahasa Inggris, misalnya di bidang bisnis, akuntansi, atau manajemen. Untuk itu perlu kiranya pejabat perguruan tinggi mengundang praktisi bisnis untuk menjabarkan kenyataan penggunaan bahasa Inggris sebagai alat komunikasi yang sebenarnya di perusahaan. Sehingga mahasiswa mampu mengetahui fungsi dan peran bahasa Inggris sesuai kompetensi yang dibutuhkan di kantor, bukan hanya teoritis dan imajiner akan kompetensi bahasa Inggris. Selanjutnya kurukulum bahasa Inggris bisa disusun ulang sesuai materi yang tepat sasaran. Para mahasiswa juga tidak akan lagi menyepelekan kelas Bahasa Inggris yang selama ini dianggap sebagai mata kuliah minor.

Langkah yang paling tepat dalam usaha penyusunan kurikulum yang tepat sasaran adalah dengan mengadakan kerjasama antara perguruan tinggi dan perusahaan. Stakeholders yang berperan dalam program revitalisasi kurikulum adalah ketua program studi, koordinator mata kuliah bahasa Inggris, dosen bahasa Inggris, alumni program studi, karyawan perusahaan, manajer atau pembuat kebijakan perusahaan, dan staf personalia perusahaan. Pandangan mereka sangat penting diidentifikasi agar mampu menyusun materi apa yang paling tepat sesuai dengan kebutuhan bidangnya, sesuai level pekerjaan, dan sesuai tingkat kesulitan penggunaan bahasa Inggris di kantor. Para stakeholder ini pasti bisa memberikan gambaran yang tepat sesuai pengalamannya, baik ketika bekerja di perusahaan local, nasional, maupun multinasional. Dengan demikian, pengembangan English communication skills akan sesuai kebutuhan karir, bukan hanya sebagai kompetensi imajiner masyarakat Indonesia.

 

 

 

 

 

Related posts

Accor Group Luncurkan Ramadan Wonderful Indonesia

Rizki

Sidoarjo Zona Kuning, Masyarakat Jangan Abai Prokes

Rizki

DPW Nasdem Jatim Berbagi Kebahagiaan HUT RI Ke 77 dengan Pesta Rakyat

neodemokrasi