Neo-Demokrasi
Headline Opini

Mengendarai Gelombang Transformasi Digital

Juwita Sari, SM., M.SM, dosen tetap STIESIA

Pandemi Covid-19 banyak mengubah cara aktivitas manusia. Bagaimana orang bergerak bebas dari satu tempat ke tempat yang lain. Menjadi hanya diam, namun berselancar bebas dengan smartphone-nya. Era revolusi digitalisasi seakan-akan semakin cepat dengan adanya pandemi ini.

Disamping teknologi mesin-mesin besar bermunculan di perusahaan, kegiatan jual beli, bekerja, belajar bahkan ibadah bisa diselesaikan di satu tempat dengan bantuan internet. Selain itu, transformasi digital dirasakan semua lapisan masyarakat, juga pemerintah.

Kita bisa mengambil contoh sejak bangun tidur, absensi, dan bekerja dengan membuka laptop, memesan makanan minuman melalui aplikasi. Siang harinya hendak mengurus KTP, misalnya. Kita hanya perlu membuka website pengurusan KTP. Sore hari mengikuti kajian keagamaan. Misalnya, kita mengikuti via daring, atau penat dengan pekerjaan, kita bisa membuka channel YouTube ataupun Netflix, atau belanja di platform e-commerce.

Dari pemerintah, penjual makanan atau minuman, pekerja, ataupun masyarakat sipil, semua bersinggungan dengan digitalisasi. Semua dikemas ringkas tanpa perlu berganti pakaian, bahkan berpindah tempat. Seperti itulah bagaimana setiap harinya kita mengendarai gelombang transformasi digital.

Figure 1 Merupakan penelitian Mertens& Wiener (2018) yang menunjukkan minat penelusuran terkait digitalisasi dan industri pada periode Januari 2010-Maret 2018. Penelusuran akan digitalisasi selalu mengalami kenaikan yang menunjukkan masyarakat Jerman tertarik akan pembahasan digitalisasi.

Menunjukkan fenomena era digital merupakan sesuatu yang umum dibahas. Tidak hanya di Indonesia tetapi juga mancanegara. Seperti halnya judul dari tulisan ini, Berkendara di Atas Gelombang Digitalisasi,  mempercepat kita mencapai tujuan. Membantu memangkas waktu yang merupakan hal termahal di dunia yang fana ini.

Perusahaan-perusahaan menjadi lebih efektif dan efisien dalam operasionalnya. Pun dengan sosial media. Muncul jenis pekerjaan baru yang belum pernah ada. Seperti youtuber, selebgram, content creator. Public figure berduyun duyun dari stasiun TV merambah channel YouTube. Digitalisasi membawa manfaat atas sisi positif keberadaannya.

Tetapi, bukankah dengan berjalan kita berpeluang terjatuh. Apalagi dengan berkendara?. Dengan berjalan kita bisa menyapa kanan kiri. Apakah dengan berkendara bisa demikian?. Bergerak menuju era digital, bisnis digital mengharuskan organisasi menjalani transformasi sosio-teknis besar-besaran yang mempengaruhi struktur organisasi, strategi, arsitektur teknologi informasi, metode dan model bisnis (Legner, et.al 2017).

Efisiensi perusahaan yang menerapkan digitalisasi teknologi memangkas banyak tenaga kerja. Seperti halnya awal kemunculan start up unicorn di Indonesia kedatangannya membawa pro kontra. Menambah arah bisnis baru dengan bendera technopreneur.

Oktober 2017 pelaksanaan pertama kali e-toll secara serentak di seluruh gerbang tol di Indonesia memangkas drastis jumlah petugas tol. Modernisasi ini diawali dengan pemecatan dari karyawan tol dan antrean panjang pengendara yang belum siap mengawali perubahan.

Fenomena viral awal kemunculan Awkarin dan Anya Geraldine di media sosial tidak hanya membawa perubahan fashion tetapi juga degradasi moral anak-anak muda saat itu. Pihak Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dengan sigap pasang badan atas apa yang terjadi.

Selanjutnya perihal ketagihan game online, penipuan online, batasan akses video konten dewasa, munculnya olshop bodong, produk online palsu, bullying, mental health, dan hate speech menambah pembahasan panjang homework efek negatif era digital.

Naziful Haq dalam tulisannya yang berjudul anak muda dalam belitan depresi dan digitalisasi, menjelaskan bahwa digitalisasi tidak hanya merevolusi pola sosial, tapi juga merevolusi dimensi biologis (otak) manusia. Anak muda berada tepat ditengah revolusi ini.

Imajinasi kita tentang anak muda yang kritis, punya kemampuan literasi informasi yang memadai, dan punya kesadaran psikologis, akan sangat sulit untuk dicipta, jika digitalisasi hanya dipandang sebatas pada peluang ekonomi-teknokratis.

Sementara itu, dalam teori berkendara selama berkendara secara aman, mengikuti protokol keamanan dalam hal ini adalah regulasi pemerintah. Manfaat yang diserap lebih banyak dibanding kekurangannya. Dalam arti lain, regulasi atau kebijakan-kebijakan yang tegas dari pemerintah, peran penting orang tua, dan moralitas individu itu sendiri merupakan tameng atas sisi negatif digitalisasi.

Akan menjadi konyol ketika kita kembali dan memilih jalur tradisional. Memilih menghindari perubahan dunia. Seakan berjalan sementara, yang lainnya berkendara. Hal itu memungkinkan menjadi primitif di antara yang modern.

Kevin Roose dalam TED Talks menjelaskan, bahkan ketika dunia bertranformasi menjadi sebuah bentuk digital yang komplek, manusia tetap dibutuhkan untuk menjadi manusia. Dalam arti lain, sifat kemanusiaan itu sendiri, ramah tamah, sisi humoris, feedback, dan manusia sebagai pemrogram atas teknologi-teknologi yang ada.

Manusia sejatinya manusia (human being). Yang dibutuhkan manusia lainnya dalam bertransaksi tidak hanya sekadar suatu hal transaksional yang sempurna tetapi experience. Sebuah upaya bagaimana manusia memanusiakan manusia lainnya.

Saat kita memasuki bank misalnya. Semua menjadi lebih cepat dengan bantuan mesin. Tetapi saat pertama masuk, kita akan merasa lebih dimanusiakan ketika ada yang menyapa, menanyakan apa yang dibutuhkan. Atau ketika ke dokter. Kita menjadi lebih nyaman berkonsultasi ketika dia menatap dan menanyai langsung apa keluhannya. Bukan mengisi form lalu diberikan feedback berupa email.

Beberapa aspek bermasyarakat masih unggul dengan pendekatan experience sebagai jalan mengikat customer dibanding penerapan teknologi digital. Seperti inilah sejatinya makna tulisan ini.

Berkendara dengan digital tanpa menghilangkan sisi kemanusiaan dari manusia itu sendiri. Positif atau negatif setiap efeknya tergantung pada moralitas individu dalam memanfaatkannya. Cepat tidaknya pemaknaan digitalisasi tergantung pada laju manusia mengendarainya.(*)

Refrensi:

Muhammad Naziful Haq. Anak Muda dalam Belitan Depresi dan Digitalisasi. Oktober 2020. https://pmb.lipi.go.id/anak-muda-dalam-belitan-depresi-dan-digitalisasi/

Kevin Roose. The Value of Your Humanity in an Automated Future. Oktober 2020.

https://www.ted.com/talks/kevin_roose_the_value_of_your_humanity_in_an_automated_future?utm_campaign=tedspread&utm_medium=referral&utm_source=tedcomshare

Martens, Peter&Wiener, Martin (2018) Riding the Digitalization Wave : Toward a Sustainable Nomenclature in Wirtschaftsinformatik. A comment on Riedl et al. (2017). Springer Nature 2018

Legner, Christine et.al (2017) Digitalization: Opportunity and Challenge for the Business and Information Systems Engineering Community. Springer

 

 

 

 

Related posts

Accor Group Luncurkan Ramadan Wonderful Indonesia

Rizki

Dua Pabrik Tahu Pakai Sampah Plastik untuk Pembakaran

Rizki

Mau Menyalip, Pengendara Motor Tewas Terserempet Truk

Rizki