Neo-Demokrasi
Opini

Hambatan Emosional yang Menghalangi Kesuksesan Seseorang Menjadi Wirausaha

Oleh: Anton Eko Yulianto, SE.MM

Ketika memulai berbisnis ada beberapa hambatan yang akan mengganggu kreativitas kita sebagai wirausaha. Di antaranya adalah hambatan emosional (Adam, 2005).Hambatan- hambatan emosional ini haruslah bisa dikenali dan diminimalkan oleh seorang wirausaha yang ingin sukses dalam menjalankan bisnisnya.

Beberapa hambatan emosional yang akan menghalangi kesuksesan kita dalam berbisnis adalah :

– Takut mengambil risiko

Dinamika kepribadian manusia adalah unik dimana ada yang menyukai tantangan sebagai sebuah petualangan. Namun ada yang menyukai “rasa aman” dan jaminan dalam kehidupan (zona nyaman).

Takut mengambil resiko adalah orang-orang yang berkepribadian labil karena tantangan yang diterima adalah tantangan yang kecil-kecil (gurem) sehingga dalam menjalani kehidupan, sumber referensi mereka juga sedikit, kurang pengalaman. Mereka tidak mau bersusah payah menaiki tangga yang tinggi.

Padahal diatas sudah disediakan rejeki yang besar kalau mau berikhtiar. Mereka berusaha mencari tantangan kecil yang aman untuk mendapatkan hasil yang besar, sebuah harapan yang mustahil

– Tidak suka ketidakpastian

Dalam hidup  kita tidak akan bisa sepenuhnya terhindar dari ketidakpastian. Bila kita mampu menyadari bahwa ketidakpastian adalah bagian dari kehidupan yang tak bisa dilawan, dan ketidaktahuan kita akan apa yang bakal terjadi kemudian merupakan bagian dari petualangan di hidup ini, maka jalan kita untuk tidak tergulung oleh perasaan cemas lebih terbuka lebar. Bersahabat dengan ketidakpastian adalah kecerdasan mental yang akan membuat kita sukses.

– Lebih suka menilai daripada menghasilkan suatu gagasan

Kebiasaan seperti ini sering terjadi pada banyak orang. Yang dilakukan setiap hari hanyalah menilai sekian banyak persoalan tapi tidak satupun gagasan brilian yang dihasilkan. Dalam berbisnis kita harus mengandalkan otak kanan kita, dimana begitu ide muncul harus segera dieksekusi dengan action yang cepat.

Kebiasaan NATO (No Action Talk Only) celakanya kebanyakan terjadi pada seseorang yang mempunyai IP terlalu tinggi ketika masih menjadi mahasiswa. Oleh karena itu, tidak heran yang banyak sukses sebagai pengusaha adalah orang-orang yang pendidikan maupun IP-nya tidak terlalu tinggi karena mereka akhirnya lebih mengandalkan otak kanannya dan lebih menyukai segera action dari pada terlalu banyak menilai dan berpikir.

Pebisnis andal seperti Ciputra, Alim Markus, Bob Sadino adalah contoh orang orang yang lebih fokus action daripada menilai dan berkata-kata.

– Menganggap remeh suatu masalah

Kebiasaan seperti ini biasanya terjadi pada seseorang yang sudah terbiasa hidup enak dan menjalani zona nyaman yang terlalu lama dalam hidupnya. Ketika yang bersangkutan menjalankan bisnisnya akan menjadi hambatan yang luar biasa.

Justru masalah masalah besar yang terjadi dalam bisnis kita berawal dari masalah masalah kecil yang awalnya dianggap remeh. Dan akumulasi persolan yang dianggap remeh berakibat menjadi bom waktu sewaktu-waktu bisa meledak menghantam bisnis kita

– Selalu tergesa-gesa dalam mengambil keputusan

Sebagai seorang dosen yang juga mengelola bisnis puhan tahun saya juga pernah mengalami hal ini. Menjadi vendor perusahaan besar seperti Unilever, Danone dan Pertamina setiap hari kita dituntut segera mangambil keputusan dengan tepat dan cepat untuk kelangsungan proyek karena adanya dead line yang ketat.

Sering kali kita tergesa-gesa dalam memutuskan sesuatu sehingga terjadi Gap yang cukup besar dalam implementasinya. Di sini pendelegasian wewenang mutlak harus dilakukan karena dalam bekerja kita bukan Superman tapi Super Team.

Ada satu contoh kasus menarik sehubungan dengan artikel di atas. Seorang mahasiswi saya yang bernama Puji Lestari sekarang sudah lulus menjadi sarjana. Dia memiliki bisnis kuliner di Yogya. Dulunya adalah seorang asisten rumah tangga.

Masuk kuliah sampai beberapa semester awal statusnya masih sebagai ART yang mengambil kuliah malam hari . Saya menjadi mentor bisnisnya sampai sekarang. Ada poin positif yang sangat menonjol, yaitu dia bisa mengatasi hambatan emosional, sehingga bisa mempunyai bisnis kuliner Dapur Tarali di Yogyakarta. Dia tidak takut risiko dan sangat menyukai ketidakpastian.

Untuk bisa menjadi seperti sekarang, Tari harus mengawali dengan proses jatuh bangun berulang kali. Dia terus memperbaiki diri dan mengevaluasi bisnisnya bersama saya sebagai mentornya. Tari selalu action dengan cepat tanpa harus banyak mikir dan menilai sesuatu.

Bisnis yang penting action. Jalan dulu baru sedikit-sedikit disempurnakan dengan ilmu yang baik sampai menjadi profesional. Sebuah kisah yang sangat inspiratif untuk menjadi pelajaran bagi kita semua. Bagaimana dengan Anda?(*)

*) Penulis adalah dosen tetap STIESIA Surabaya pengajar Mata Kuliah Kewirausahaan dan Pemasaran dengan Nomor Sertifikat Dosen Pendidik : 12107300102352. Selain sebagai praktisi bisnis dan pemasaran di Surabaya, sekarang menjabat sebagai komisaris di perusahaan nnergi PT MJE Grup di Jakarta.

Related posts

Pemberdayaan Usaha Mikro Kecil dan Menengah di Tengah Pandemi

neodemokrasi

Menilik Potensi Ekonomi Jasa Open Trip

neodemokrasi

Gempa Tuban Vs Area Dumping

Rizki