Neo-Demokrasi
Ekbis

Potensi Politik di Indonesia Menjelang Pemilu 2024

 

Dr. Rismawati.,SE.,MM.,CPS (Dosen Tetap STIESIA)

Tanpa menafikan para pemimpin bangsa sebelumnya dengan peranannya masing-masing sejak Bung Karno, Soeharto, B.J. Habibie, Adurrahman Wahid (Gus Dur), Megawati Soekarno Putri hingga Soesilo Bambang Yudhoyono, Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang memiliki kekhasan dalam gaya kepemimpinannya melalui revolusi mental, Nawa Cita, dan terbaru “cawecawe” kiranya patut kita renungkan dan menjadi teladan, juga pedoman dalam membawa bangsa ini ke depan.

Dengan gayanya yang unik, khas, dan juga membumi pemimpin negara melalui karakter inklusifnya berhasil merangkul rakyat dari Sabang sampai Merauke dan menyatukannya dalam gerak pembangunan bangsa secara merata, serentak, dan berkeadilan. Melangkah dalam dunia politik yang penuh tantangan, Prresiden berhasil membuktikan bahwa ia bukan sekadar seorang pemimpin di kancah politik nasional maupun global. Tetapi, ia juga seorang sosok yang mampu memberikan inspirasi dan berhasil mengubah paradigma politik Indonesia.

Presiden telah membuktikan bahwa kepemimpinan inklusif, semangat, dan ketekunan mampu membentuk fondasi politik yang kuat dalam menjaga stabilitas di bidang sosial, ekonomi, dan politik nasional. Tentunya, kita semua masih ingat, bahwa pada 2014 muncul fenomena yang disebut “Jokowi Effect” (Efek Jokowi) yang telah mengubah pandangan umum terhadap kepemimpinan politik nasional.”Efek Jokowi” ini mengajarkan nilai-nilai positif bahwa kemampuan dan kualitas, visi, kerja keras, keterampilan komunikasi, empati, tekat kuat untuk mencapai tujuan, mampu melontarkan gagasan dan kebijakan yang cemerlang, dan semangat dedikasi terbukti jauh lebih berharga dibanding latar belakang garis keturunan atau “trah politik” sekalipun. Oleh karena itu, peran Presiden Joko Widodo yang mengedepankan semangat, karakter, dan aura inklusif dalam dunia politik sangat relevan menjelang Pemilu 2024 mendatang.

Selanjutnya, dalam konteks persiapan menjelang Pemilu 2024 yang makin dekat, peran sentral Jokowi tak terbantahkan lagi. Gaya kepemimpinannya yang terkenal dengan karakter inklusifnya (mengajak dan ikut serta dengan menghormati harkat dan martabatnya), ditambah keberpihakan kepada rakyat, komitmennya dalam selalu mengedepankan keadilan dan pendekatannya dalam menjaga diri menjauhi urusan hukum makin meningkatkan kredibilitasnya sebagai seorang pemimpin.

Sikap positifnya ini juga telah memposisikannya sebagai seorang pemimpin bangsa yang dikenal menjunjung tinggi nilai-nilai keeadilan dan integritas, selain sikap rendah hati dan arif-bijaksana ala punakawan yang menjadikan Jokowi sebagai sosok pemimpin sangat khas dalam sejarah politik Indonesia, bahkan dunia.

Uraian tersebut tentu merupakan pandangan pribadi saya. Tentu, pendekatan-pendekatan yang dilakukan oleh Presiden Jokowi, seperti tindakantindakan yang diambil dan efektivitasnya dapat memunculkan perspektif yang beragam dan kontroversi dalam dinamika wacana politik, yang terkait dengan interaksi antara kepemimpinan karismatik dan pandangan pribadi, di mana pro dan kontra tersebut adalah hal yang umum.

Namun, setelah hampir sepuluh tahun menjabat, yang dimulai dengan gebrakan revolusi mental dan Nawa Cita, Presiden Jokowi berhasil membawa perubahan yang sangat signifikan, yang telah memunculkan fenomena baru. Dalam konteks politik nasional, fenomena baru ini, saya memberanikan diri menyebutnya “cakrawala baru”.

Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bila Jokowi mendapatkan dukungan dari berbagai kalangan yang melebihi dukungan ‘konvensional’ dari partai-partai politik pendukungnya dan partai politik lainnya.

Demikian juga, ia mendapat dukungan dari berbagai ormas, Lembaga Swadaya Masyarakat, dan pihak-pihak lain serta rakyat Indonesia secara umum. Jokowi laksana “magnet” yang menarik berbagai elemen bangsa untuk bersatu-padu melanjutkan pembangunan di berbagai bidang yang merupakan cita-cita mulia para pendiri bangsa.

Fenomena ini, dalam kaitan politik praktis, ibarat konsep metaforis “teori magnet” yang sering digunakan untuk menggambarkan daya tarik dan pengaruh pemimpin terhadap rakyat, seperti magnet menarik objek di sekitarnya, meskipun hal ini tidak memiliki akar dalam disiplin ilmu tertentu. Diskusi mengenai konsep ini umumnya muncul dalam ilmu politik, studi kepemimpinan, dan sosiologi, di mana para akademisi dan analis mengeksplorasi bagaimana faktor-faktor ini mempengaruhi kemampuan pemimpin untuk meraih dukungan dan perhatian masyarakat.

Bila ditinjau lebih mendalam, gaya kepemimpinan Jokowi yang khas ini merupakan wujud nyata dari cita-cita yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 dan sudah terbukti bahwa Jokowi bukan hanya sebagai simbol bagi suatu partai politik ataupun sekumpulan kelompok yang berkepentingan, tetapi menjadi “ikon” bagi semua orang yang percaya pada potensi dan kemampuan individu tanpa memandang latar belakangnya.

Melirik popularitas Jokowi ini, perdebatan publik yang menarik perhatian saat ini adalah, apakah Jokowi akan mengambil kesempatan untuk memainkan “peran pragmatis” atau “memanfaatkan” popularitas gaya inklusifnya pada kesempatan “cawe-cawe” dalam Pemilu 2024 mendatang?

Magnet Politik

Jika dilihat dari kacamata netral, Jokowi telah berhasil membangun “identitas dan marwah” (identity and dignity) kepemimpinannya yang bersumber dari sikap dan pola inklusif serta kesetaraan yang dijadikannya sebagai kebijakan. Jika kita menganalisis fenomena terkini dalam politik Indonesia, terutama menjelang pendaftaran calon presiden pada Oktober 2023 mendatang, dalam sepak-terjang politiknya, Jokowi dapat diibaratkan telah mengadopsi “teori magnet” dalam politik.

Dalam kerangka pemikiran “magnet politik” ini, Jokowi menjadi “kutub positif” yang mempengaruhi dinamika politik yang tengah berputar. Melalui pidatonya di berbagai kesempatan, ia sudah memberikan isyarat pendekatan “cawecawe” (sebuah kata serapan dari bahasa Jawa yang mengandung arti sederhana “ikut serta”) dalam pesta demokrasi yang akan datang demi kepentingan bangsa dan negara.

Pandangan “cawe-cawe” ini dapat dianalisis dari perspektif teori psikologi sosial yang dipopulerkan oleh Kurt Lewin, Bapak Psikologi Sosial keturunan Jerman-AS (1890 – 1947), yang menekankan pentingnya lingkungan dan suasana sosial dalam membentuk perilaku seorang individu. Dalam hal ini, Jokowi bertindak sebagai “magnet” yang menghasilkan gaya tarik psikologis untuk berbagai aktor serta bermacam-macam instrumen politik.

Pola kepemimpinannya yang mengajak untuk “ikut serta” dalam perjalanan politiknya, menciptakan suasana harmonis yang mendorong membaurnya bermacam-macam pandangan dan berbagai kelompok. Sangat menarik untuk mencermati bagaimana Jokowi secara psikologis telah menggerakkan dan mempengaruhi aktor-aktor politik melalui daya tariknya, sehingga berhasil membentuk pola baru dalam lingkungan dan dinamika politik Indonesia yang membangkitkan harmoni, semangat koordinasi dan persatuankesatuan.

Pola pendekatan “cawe-cawe” yang diterapkannya mencerminkan semangat keakraban dengan rakyat, menciptakan hubungan pribadi yang erat antara pemimpin dan rakyat, juga dengan berbagai kelompok berkepentingan. Meskipun pendekatan ini memiliki kelebihan dan kekurangan, usaha-usaha Presiden Jokowi ini memiliki makna yang sangat mendalam dalam konteks ketahanan nasional menghadapi persaingan politik yang cukup ketat pada periode Pemilu 2024.

Pendekatan politik “cawe-cawe” ala Jokowi ini tampaknya bukan sekadar jurus politik biasa. Namun, juga dapat dipandang sebagai dasar untuk membangun visi kepemimpinan inklusif yang bertujuan membentuk masa depan Indonesia yang cemerlang dan berkelanjutan.

Bagi Jokowi sendiri, momentum ini juga menjadi sarana untuk suatu soft landing atas kepemimpinannya selama satu dekade terakhir sebagai figur presiden yang tidak hanya melakukan berbagai pembangunan fisik, tetapi juga dalam menggelorakan “revolusi mental” di jagat perpolitikan nasional. Jokowi telah membuka jalan dan menyumbangkan sebuah gaya baru dalam tren politik modern dimana pemimpin masa depan dituntut untuk lebih mengutamakan kepentingan rakyatnya.

Oleh karena itu, pemimpin masa depan dalam konteks ini para calon presiden juga harus memiliki kemampuan mumpuni untuk mempersatukan bangsa dengan cara pandang politik inklusif. Calon pemimpin jangan sampai terjebak dalam politik praktis-pragmatis ala “tawarmenawar” yang terlanjur dikenal umum sebagai citra politik yang negatif. Rupanya, tidak salah jika kita mengasumsikan bahwa “cakrawala politik Jokowi” ini, kini memiliki daya tarik yang tidak kalah dari tawaran pola klasik “tiket” menuju pemilu melalui suatu partai politik.

Inspirasi yang Memandu

Di tengah hiruk-pikuk dinamika politik menjelang Pemilu 2024 serta dalam menghadapi berbagai tantangan politik dan tugas yang kompleks, cakrawala politik Jokowi” hadir sebagai suatu contoh inspiratif yang siap memandu langkahlangkah para pemimpin bangsa ke depan. Kepemimpinan Jokowi telah berhasil mengatasi berbagai perbedaan yang berakar pada kompetisi capres sebelumnya.

Namun, perjalanan menuju pendaftaran calon presiden tidaklah bebas dari cobaan. Polaritas opini dan isu-isu sensitif merajut jaring yang kompleks, menguji kebijaksanaan calon dalam mengelola potensi konflik. Integritas pemilu juga menjadi ujian penting, di tengah maraknya teknologi yang mempengaruhi arus informasi dan opini masyarakat.

Di sisi lain, dalam tantangan-tantangan itulah terbuka peluang-peluang emas.

Calon presiden yang mampu mengartikulasikan visi inklusif, menampilkan dedikasi terhadap kepentingan rakyat, dan menjembatani perbedaan dalam semangat persatuan, menciptakan lingkungan yang mendorong keadilan, kejujuran, dan meniadakan campur-tangan kekuasaan dalam proses hukum akan memiliki potensi besar untuk meraih dukungan yang luas. Pendidikan politik menjadi kunci untuk membentuk masyarakat yang cerdas dalam memilih pemimpin mereka.

Inisiatif dalam mendidik pemilih tentang pentingnya partisipasi aktif dalam demokrasi dan dampak dari setiap suara yang diberikan dapat membentuk pandangan politik yang lebih matang. Dalam menjalani perjalanan ini, kemitraan dan kolaborasi akan memainkan peran penting. Kemampuan dalam membangun jaringan yang kuat dengan partai politik dan berbagai kelompok masyarakat akan memberi landasan dukungan yang solid kepada calon presiden untuk mewujudkan semangat inklusif dalam aksi nyata. Tak lupa, rekam jejak dan prestasi menjadi sumber kepercayaan para pemilih.

Menampilkan pencapaian nyata yang membangun, menjelaskan bagaimana visi diwujudkan dalam perbuatan, adalah senjata ampuh yang mengajak pemilih untuk bergabung dalam perubahan yang dijanjikan. Sebagaimana kita meyakini, bahwa pemilu selalu menjadi momentum penting dalam perjalanan demokrasi sebuah bangsa. Namun, perjalanan menuju pemilu juga harus diiringi dengan kemampuan para stakeholders dalam memastikan pembangunan berkelanjutan dapat berlangsung dengan baik dan dapat mewujudkan kepastian stabilitas nasional di berbagai bidang. Oleh karena itu, sangatlah wajar, beberapa kandidat bakal capres 2024 kini berkumpul pada kutub magnet yang menawarkan harapan tersebut.

Selanjutnya, semangat “cakrawala politik Jokowi” menjadi topik menarik untuk diamati sejak sekarang. Akankah semangat ini terus menjadi panduan pendorong dalam usaha mencapai masa depan yang lebih positif. Atau, bisa jadi, kecenderungan pemikiran politik praktis akan menjadi jalur menuju perbaikan yang lebih baik. Mari kita bersama-sama memperhatikan langkahlangkah para capres, apakah mereka mampu mengedepankan kepentingan nasional di atas segala bentuk praktik politik pragmatis seperti pada umumnya. Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indoesia Surabaya. *

 

Related posts

Mendag Minta Distribusi Migor Harus Cepat dan Masif

Rizki

Kerja Sama XL Axiata dan BCA Permudah Pembelian Paket Data

Rizki

Bawang Putih Bumi Majapahit Diproyeksi Tunjang Kebutuhan Nasional

neodemokrasi