Neo-Demokrasi
Opini

Pilkada di Masa New Normal

David Efendi, dosen STIESIA Surabaya

“Dengan paksaan dan ditakut-takuti, demokrasi tidak akan tumbuh dan tidak mempunyai arti” – Soeharto, Presiden RI ke-2

Hampir 22 tahun yang lalu reformasi tata kelola NKRI digulirkan aktivis reformasi dengan tuntutan. Di antarannya mewujudkan kehidupan demokrasi. Munculnya tuntutan tersebut disebabkan terpuruknya kehidupan demokrasi yang ditandai pimpinan pemerintahan yang berkuasa terlalu lama.

Era baru demokrasi di Indonesia dimulai yang ditandai pemilu langsung untuk kepemimpinan SBY dan JK. Pilihan langsung adalah perwujudan kualitas demokrasi. Pemilihan kepala daerah (Pilkada)  secara langsung oleh rakyat pada suatu daerah tertentu merupakan pengejawantahan kaidah demokrasi yang memuliakan hak kedaulatan rakyat.

Pilkada langsung memiliki perbedaan makna dengan pilkada tidak langsung yang cara pemilihannya dilakukan oleh anggota DPRD. Demokrasi terlihat saat pilkada secara langsung terselenggara.

Pilkada secara langsung adalah wujud demokrasi. Dalam kontek pilkada langsung rakyatlah pemegang kedaulatan atas suatu kota/ kabupaten atau provinsi. Demokrasi memperlihatkan bahwa peran rakyat adalah penting dalam tatanan suatu pemerintahan saat dilakukan pilkada langsung.

Berarti peran ini telah dijalani rakyat selama 22 tahun. Dan karena lamanya ini maka masyarakat menjadi cerdas politik dalam menghadapi pilkada langsung. Telah lama masyarakat “disuguhi” dengan black campaign, money politic, politik identitas, dan sebagainya.

9 Desember 2020 pilkada serentak mewarnai demokrasi di negeri tercinta ini. Pelaksanaan suksesi bersifat langsung memberikan ruang terbuka bagi rakyat menentukan pilihan dengan jernih dan obyektif. Kontestasi pilkada langsung rakyatlah pemegang peran penting dalam menentukan siapa yang berhak menjadi pemimpin.

Harapan terdalam dari pilkada langsung melahirkan seorang pemimpin dengan kebijakan bottom-up dan keputusan politik yang transparan. Singkatnya pilkada langsung dapat memilih dan menempatkan pemimpin yang selalu mengagregasi dan mengartikulasi kepentingan rakyat dalam mewujudkan kesejahteraan.

Pilkada langsung merupakan amanah langsung dari gerakan reformasi di tahun 1998. Pilkada langsung adalah momentum demokrasi. Pillkada langsung secara filosofis berkeinginan menggapai pelaksanaan nilai-nilai demokrasi berkelanjutan.

Dinamika cara pemilihan langsung dalam menentukan pimpinan publik dan wakil rakyat didasari adanya: “perselingkuhan” elit politik. Hal inilah yang menyebabkan potret buruk perpolitikan di Indonesia. Tidak adanya transparansi dari elit politik dan hadirnya money politic. Dasar inilah yang menghadirkan undang-undang pemilihan secara langsung.

Filsafat demokrasi yang diperkenalkan oleh Abraham Lincoln,“dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.” Pilkada langsung memiliki pesan kuat yang merefleksikan bentuk partisipasi warga memilih pemimpinnya. Sehingga menjadi wajar bila proses pilkada begitu semarak di berbagai daerah karena antusiasme warga dan proses berjalannya demokrasi lokal.

Demokrasi mengajarkan bahwa partisipasi rakyat diperlukan untuk membangun pemerintahan yang akuntabel, transparan dan responsif terhadap kebutuhan rakyat. Selain itu, juga partisipasi masyarakat dalam demokrasi adalah terciptanya kunci pemberdayaan (empowerment).

Tahun 2020 adalah tahun yang berat dalam ber-ekonomi, berpolitik, bersosial, dan aspek kehidupan lainnya. Khusus dalam dunia politik, tahun 2020 pilkada  langsung memiliki suasana yang berbeda dengan saat sebelum adanya pandemi Covid-19. Situasi adanya pandemi menjadikan resah banyak pihak untuk penyelenggaraan pilkada langsung. Diselenggarakan atau ditunda menggelar pilkada tahun ini. Justru situasi yang demikian harus dipahami sebagai bagian dari demokrasi yang terus tumbuh dan berkembang dalam proses transisi pendewasaan politik.

Di masa pilkada atau pileg, para politikus akan berbaik hati dengan rakyat. Rakyat harus digandeng, ditarik simpatinya, dan harus dimanjakan. Para politisi menyadari bahwa karena rakyatlah yang akan mengantarkannya pada kursi kekuasaan. Petahana akan berusaha sekuat tenaga untuk menghilangkan ingatan yang menyakitkan dan menciderai hari rakyat saat mereka berkuasa.

Pendatang baru berusaha menarik simpati rakyat dengan suatu yang cukup diandalkan, yaitu janji. Petahana dan pendatang baru bertarung melalui kampanye, debat publik, dan cara lainnya untuk mendapatkan simpati rakyat. Simpati rakyat yang berujung pada mendulang suara rakyat yang berujung pada titik akhir, yaitu kekuasaan.

Tahun 2020 telah banyak memberikan pelajaran bagi manusia dalam berbagai peran. Manusia sebagai ekonom, manusia sebagai petani, manusia sebagai politikus dan menusia sebagai rakyat. 9 Desember 2020 kesekian kali wacana demokrasi melalui metafora dari pentingnya rakyat dalam tatanan bernegara.

Rakyat menentukan pilihan pemimpinnya. Sederhana kok, bagi rakyat. Masuk bilik dan coblos foto yang ada di kertas lalu pulang. Namun tidak demikian dengan pilkada di era normal. Mengapa, bagi rakyat pilkada adalah agenda rutin lima tahunan yang mereka paham dan hapal apa yang akan dijanjikan calon kepala daerah kepada mereka.

Kecerdasan berpolitik masyarakat terus berkembang dan dimatangkan oleh pandemi Covid-19 karena mereka dapat berpikir jernih. Pro dan kontra penyelenggaraan pilkada langsung. Dari sisi rakyat diwarnai ketakutan dengan kegiatan menjelang pilkada langsung, yaitu kampanye. Karena di tempat yang ramailah pandemi Covid-19 cepat menyebar. Di sisi lain, pemerintah dihadapkan pada dua sisi kekosongan pimpinan dan pandemi Covid-19.

Rupanya pemerintah telah belajar dari PSBB yang dilakukan oleh beberapa kota/kabupaten untuk mencegah wabah pandemi Covid-19. Jika pilkada  langsung diundur dengan waktu tidak ditentukan, akan berdampak keamanan politik. Artinya, pandemi Covid-19 bersinggungan dengan politik bila pemerintah mengeskekusi pelaksanaan pilkada diundur. Bahkan tidak menutup kemungkinan beban rakyat kian berat dengan diundurnya  pilkada langsung.

KPU sebagai tuan rumah yang punya hajat pilkada langsung secara teknis mengantisipasi penyebaran Covid-19. Terkait dengan hal tersebut dikeluarkan keputusan KPU tentang penundaan tahapan pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, dan/atau wali kota dan wakil wali kota tahun 2020. Artinya KPU tidak menginginkan acara yang digelarnya akan membawa banyak kasus Covid-19. Belum ada penelitian mengenai pilkada langsung di tengah bencana di Indonesia.

Penyikapan penundaan beberapa tahapan pilkada pada masa pandemi Covid-19 dapat menimbulkan berbagai dampak penyelenggaraannya yang bersifat positif maupun negatif. Penundaan tahapan penyelenggaraan pilkada langsung dari 23 September menjadi 9 Desember 2020 memberikan positif kepada calon independen yang memberikan ruang gerak untuk menyiapkan persyaratan dukungan sebagai calon perseorangan.

Bagi partai politikpun memberikan efek positif karena mengalami proses relaksasi dalam melakukan proses rekrutmen calon kepada daerah. Namun demikian, jangka waktu penundaan hanya 3 bulan tidak terlalu signifikan.

9 Desember 2020 kurang beberapa hari lagi. Pilkada langsung akan terlaksana. Pesta demokrasi miliknya rakyat digelar dengan mematuhi protokol kesehatan. Situasi antrean sebelum aksi coblos dilakukan masyarakat akankah terjadi dalam situasi pandemi Covid-19? Ataukah antusias masyarakat berkurang akibat pandemi Covid-19?

Tentunya situasi ini telah terbaca oleh KPU sebagai penyelenggara pilkada. Terbukti tidak adanya kampanye yang menggerakan banyak massa yang bergerombol. Yang pasti, pilkada langsung tahun ini diwarnai dengan keprihatinan karena semaraknya  tidak semeriah seperti tahun-tahun sebelumnya.

Selamat mencoblos sesuai pilihan hati nurani yang paling dalam. Jangan lupa memakai masker dan menjaga jarak. Tetap semangat beraktivitas politik dengan mencoblos menentukan pemimpin di Tempat Pemungutan Suara (TPS).(*)

Related posts

Transaksi Nontunai Selama Pandemi Covid-19

neodemokrasi

Kecerdasan Paripurna dalam Perspektif Profesionalisme Akuntan

neodemokrasi

Kecelakaan Kapal Marak, Izin Berlayar Masih Rancu

Rizki