Pondok pesantren merupakan salah satu organisasi nirlaba yang bergerak dibidang pendidikan (Islam). Keunikan dan spesifikasi tujuan pondok pesantren sangat menarik. Pondok pesantren tidak bertujuan memaksimalkan kekayaan pemegang saham, tetapi untuk mensiarkan nilai-nilai Islami. Pondok pesantren selama ini dianggap selalu peka terhadap tuntutan zaman. Perannya tidak hanya dalam bidang keagamaaan dan pendidikan, namun dalam semua aspek kehidupan. Oleh karena itu, pengelola pondok pesantren juga dituntut untuk mampu mempertanggungjawabkan seluruh aktivitas organisasionalnya. Tujuan pertanggungjawaban manajemen/akuntabilitas pengelola pesantren lebih luas dibandingkan dengan manajemen organisasi lainnya.
Akuntabilitas di pondok pesantren berbeda dari organisasi berorientasi laba yang merujuk pada teori agensi di mana penekanan pengguna pelaporan keuangan adalah yang utama (investor dan kreditor), sedangkan organisasi nirlaba atau organisasi Islam dan sosial merujuk pada teori “ketundukan” di mana akuntabilitas tidak hanya untuk pemilik (kepala sekolah) tetapi untuk semua pemangku kepentingan termasuk didalamnya sang pencipta yaitu Allah SWT. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan apabila manajemen di pondok pesantren memiliki tujuan yang integrative, yaitu perpaduan tujuan yang berasal dari unsur keduniawian dan unsur ukhrawi/keakhiratan. Perpaduan kedua unsur tersebut dalam perspektif Islam diatur di Al-Qur’an: setiap manusia sebagai ciptaan Allah SWT wajib tunduk dan mematuhi perintah serta meninggalkan larangan-Nya. Oleh karena itu, bentuk pertanggungjawaban dalam Islam adalah pertanggungjawaban holistik, pertanggungjawaban kepada Allah SWT dan manusia.
Akuntabilitas keuangan digunakan untuk menjamin terciptanya stabilitas keuangan pondok pesantren. Akuntabilitas pada sisi eksternal yang merefleksikan kewajiban formal pondok pesantren yang diprasaranai oleh IAI dan BI yang berupaya mewujudkan akuntabilitas keuangan pondok pesantren dengan meluncurkan Pedoman Akuntansi Pondok Pesantren/PAP. Pada Bulan November 2017 Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), yang bekerjasama dengan Bank Indonesia (BI) dan Departemen Agama Republik Indonesia meluncurkan Pedoman Akuntansi Pesantren. Peluncuran Pedoman akuntansi pesantren (PAP) hanya diterapkan untuk pondok pesantren yang telah berbadan hukum yayasan (pesantren modern), dimana telah terdapat pemisahan kekayaan antara pondok pesantren dengan Pemilik Yayasan. Pesantren merupakan bagian dari organisasi nirlaba yang memiliki karakteristik khusus.
Pedoman Akuntansi pesantren tidak menjadi standar hanya sebagai pedoman karena transaksi yang ada di pesantren sudah diatur oleh standar akuntansi yang berlaku saat ini. Pedoman akuntansi ini disusun berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan (SAK) Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik (ETAP) dan SAK Syariah. Oleh karena itu disebutkan dalam PAP (2018: 2) tujuan penyusunan PAP untuk memberi panduan akuntansi “yang tidak mengikat” pondok pesantren dalam penyusunan laporan keuangan. Disamping itu disebutkan dalam ketentuan lain PAP (2018: 5) bahwa jurnal (pencatatan transaksi) yang digunakan “hanya merupakan ilustrasi dan tidak mengikat”. Pondok pesantren dapat mengembangkan metode pencatatan dan pengakuan sesuai sistem masing-masing sepanjang memberikan hasil yang tidak berbeda. Pengembangan metode pencatatan dan pengakuan transaksi yang dibebaskan dalam PAP menggambarkan bahwa akuntabilitas pengelolaan keuangan pondok pesantren akan sangat bersandar pada kekuatan kultural.
Akuntabilitas di pondok pesantren, yang dituju tidak hanya realitas material tetapi juga realitas immaterial. Realitas immaterial dilatarbelakangi oleh budaya yang sudah mengakar dan mewarnai pondok pesantren sehingga terbentuklah tacid knowledge. Kondisi tersebut menjadi salah satu penyebab lemahnya respon pengelola pondok pesantren dalam menyusun dan menyajikan laporan keuangannya sesuai dengan regulasi yang ditetapkan oleh pemerintah (Departemen Agama), Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) dan Bank Indonesia (BI). Tata kelola organisasi yang baik menyesuaikan dengan struktur, budaya, sistem dan norma, etika dan kearifan lokal. Kesimpulan yang dapat diambil dari beberapa hasil penelitian terdahulu adalah permasalahan akuntabilitas pada umumnya tidak hanya terletak pada regulasi, standar dan pedoman akuntansinya saja tetapi juga pada objektivitas konsep akuntabilitas yang sesuai dengan fungsi, tujuan dan karakteristik organisasi.
Oleh karena itu, implementasi akuntabilitas di pondok pesantren bukanlah dominasi aspek material (ekonomik) semata tetapi juga dimensi non material (sosial, lingkungan, spiritual yang saling bersinergi). Permasalahan muncul ketika akuntabilitas hanya berfokus pada laba atau materialisme dan hanya terbatas pada akuntabilitas horisontal. Sejumlah kasus korupsi yang merajalela di Indonesia adalah kasus di mana akuntabilitas hanya berfokus pada materialisme, unsur duniawi, mengesampingkan pertanggungjawaban vertikal serta mengabaikan nilai-nilai etis, moral dan agama.
Nilai-nilai Islami merupakan salah satu sumber nilai yang dapat dipertimbangkan dalam akuntabilitas. Pencarian nilai-nilai Islami pada suatu komunitas seperti yayasan pengelola pondok pesantren akan menghasilkan prinsip akuntansi yang berbeda dengan yang selama ini ada dan berkembang. Kondisi tersebut dikarenakan akuntabilitas pada lingkungan organisasi keagamaan seperti pondok pesantren, berorientasi ganda pada kepentingan duniawi dan ukhrawi. Keholistikan tujuan pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tersebut akan memengaruhi praktik dan aktivitas akuntabilitasnya. Oleh karena itu, Organisasi keagamaan Islam perlu memikirkan bagaimana mereka beraktivitas dan menempatkan nilai-nilai Islam yang bersumber pada Al-Qur’an dan As-Sunnah untuk menghindari terjadinya dysfunctional behaviour.
Beberapa penelitian tentang akuntabilitas di entitas Islam sudah mengacu pada Al-Qur’an dan As-Sunnah atau Hadis. Berbagai praktik akuntabilitas muncul mengacu pada sumber-sumber hukum Islam. Kedua sumber primer itu adalah Al-Qur’an Suci, firman Tuhan yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad pada abad ketujuh dan Sunnah yang merupakan catatan tertulis dari ucapan serta perbuatan Nabi selama hidupnya. Keduanya memberikan prinsip dan rekomendasi untuk memandu umat Islam dalam kehidupan mereka sehari-hari, termasuk kegiatan komersial. Al Quran dan hadis juga menjadi dasar dalam pengembangan operasional di lingkungan pondok pesantren.
Penerapan tata kelola yang baik dan standar akuntabilitas memang sangat tinggi diinginkan setiap organisasi termasuk dalam entitas Islam karena berhubungan dengan tanggung jawab dalam memenuhi kewajiban sakral agama. Tingginya tuntutan akuntabilitas yang bersifat immaterial ini dilatarbelakangi oleh berbagai hasil penelitian yang menunjukkan rendahnya suatu entitas dalam memegang teguh nilai-nilai keagamaan (Islam) yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dengan demikian maka tata kelola organisasi yang baik disebutkan dalam Al-Qur’an didasarkan pada iman. Iman digunakan sebagai pondasi dalam tata kelola agar tercipta tata kelola yang baik dan aman.
Pondok pesantren mengimplementasikan pedoman akuntansi yang merupakan prinsip umum dan memaknai akuntabilitas tidaklah hanya secara formal saja tetapi juga secara kultural-spiritual. Ketika setiap individu merasa bahwa setiap tindakan dan aktivitasnya dalam konteks organisasi menuntut pertanggungjawaban bukan hanya kepada pimpinan, teman sejawat ataupun komunitas publik, namun lebih besar daripada itu adalah bagaimana ia mempertanggungjawabkannya di hadapan Allah SWT.