Neo-Demokrasi
Fashion Gaya Hidup Jatim Umum

Antre Minyak Goreng

 

DR David Efendi SE, MSi Dosen Tetap STIESIA Surabaya

 

 

Semenjak wabah Covid-19 hadir menyebabkan aktivitas manusia di seluruh dunia mengalami penurunan. Tentunya efek domino pun terjadi. Penurunan aktivitas manusia menyebabkan terjadinya penurunan aktivitas ekonomi secara global. Banyak negara mengalami hal tersebut, termasuk Indonesia. Penurunan aktivitas ekonomi akan memicu hadirnya pengangguran yang diteruskan ke guncangan equilibrium. Artinya penawaran dan permintaan dipasar sulit mencapai titik temu. Singkatnya pandemi Covid-19 memberi dampak negatif terhadap perekonomian khususnya pada penurunan daya beli masyarakat.

Daya beli (purchasing power) yang merupakan kemampuan seseorang dalam mengkonsumsi suatu produk. Dari sisi ekonomi, penyebab turunnya daya beli diakibatkan adanya pendapatan turun atau bahkan tidak adanya pendapatan karena PHK. Pemerintah tidak tinggal diam dengan munculnya daya beli masyarakat yang turun. Beberapa upaya dilakukan untuk mengatasi hal tersebut diantaranya penyaluran Bantuan Sosial (Bansos) kepada masyarakat. Selain itu pemerintah juga melakukan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Namun demikian, saat ini kita menyaksikan banyak masyarakat antre untuk mendapatkan minyak goreng.

Ya, situasi sekarang berbeda dengan 4 tahun yang lalu. Seorang pria rela antre untuk mendapatkan minyak goreng. Antrean masyarakat untuk mendapat minyak goreng menimbulkan tanda tanya besar: “mengapa antre minyak goreng mesti terjadi?” Apakah karena kenaikan harga minyak goreng terjadi sejak akhir tahun 2021 sampai sekarang? Ataukah karena faktor lain? Apakah antrean dipicu kebijakan pemerintah dengan minyak goreng satu harga, yakni Rp14.000 per liter? Apakah karena daya beli yang turun akibat efek domino pandemi Covid-19?

Harga minyak goreng tinggi mengakibatkan kelangkaan minyak goreng. Ada analisis yang menyatakan kenaikan harga minyak goreng diakibatkan harga internasional naik tajam. Selain itu juga harga minyak goreng yang mahal di picu terbatasnya pasokan CPO yang berujung pada gangguan mata rantai distribusi (supply chain) industri minyak goreng. Penyebab lain naiknya harga minyak goreng dikarenakan kenaikan permintaan CPO untuk pemenuhan kebutuhan industri biodiesel seiring dengan penerapan kebijakan B30. Analisis tersebut diberikan oleh pihak yang berkompeten. Berbeda lagi dengan analisis yang diberikan seorang penjual gorengan di sekitar Perguruan Tinggi Swasta (PTS) di Jawa Timur yang bernama pak Kamis.

Pak Kamis memberikan analisis lugunya bukan pada tingginya harga minyak goreng tapi dia menganalisis mengapa antre minyak goreng terjadi. Analisis sederhana dimulai dari antrean minyak goreng itu sendiri yang kemudian ditarik mundur. Sederhana tapi analisis yang cerdas. Pertama, antrean terjadi karena kebutuhan konsumen pengguna minyak goreng lebih banyak dibandingkan dengan jumlah minyak goreng untuk memenuhi kebutuhan konsumen.

Kedua, jumlah kebutuhan minyak goreng yang tidak sebanding dengan kebutuhan konsumen disebabkan produsen dengan sengaja mengeluarkan minyak goreng untuk menggugurkan kewajiban dengan satu harga minyak goreng yang dikeluarkan pemerintah. Ketiga, pemerintah mengeluarkan satu harga minyak goreng dikarenakan pemerintah menginginkan masyarakatnya mampu membeli minyak goreng dengan harga yang ditetapkan pemerintah melalui satu harga tersebut. Harapan penetapan satu harga adalah menekan tingginya harga jual minyak goreng di pasar. Harga satu harga untuk minyak goreng di sambut dengan senyuman manis konsumen.

Namun, bagaimana sikap produsen (pabrik, agen, dan penjual) dengan adanya satu harga minyak goreng. Mereka tidak berdaya. Ketidakberdayaan dengan pemegang kewenangan tertinggi tidak dapat dihindari. Nyawa produsen ada minyak goreng. Jadi minyak goreng perlu diselamatkan, kalau bahasa gaulnya disimpan tanpa diketahui pihak lain. Lebih kerennya di timbun. Sebenarnya terjadinya antre adalah bentuk wujud perlawanan produsen terhadap pemerintah. Celakanya, konsumen “dikerjain” penjual minyak goreng dengan pembelian bersyarat bila membeli minyak goreng. Sudah tentu konsumen dengan keterpaksaannya membeli barang prasyarat untuk mendapatkan minyak goreng. Pembelian bersyarat ini secara tidak langsung mendorong atau menciptakan turunnya daya beli masyarakat.

Pak Kamis mencoba meneruskan analisisnya dengan gaya khas berapi-api dan bersemangat. Keempat, kebijakan satu harga minyak goreng yang ditetapkan pemerintah telah mengganggu equilibrium yang telah diciptakan konsumen dan produsen. Intervensi pemerintah yang diharapkan mampu pengaruhi menghentikan antrean minyak goreng sampai saat ini belum terwujud. Operasi pasar yang dilancarkan dengan menjual minyak goreng dengan harga Rp14.000 per liter masih belum mampu mencukupi kebutuhan minyak goreng masyarakat. Artinya, intervensi yang dilakukan pemerintah belum membuahkan hasil. Ya jelas menang produsen, mereka yang melakukan produksi dan menjual minyak goreng.

Pemerintah hanya sebatas membuat regulasinya. Jadi regulasi berupa aturan satu harga minyak goreng belum efektif. Produsen masih menguasai pasar. Seharusnya kebijakan satu harga minyak goreng dibarengi dengan impor minyak goreng. Banyaknya minyak goreng yang di impor akan mengganggu pasar yang lama diciptakan pemain lama. Jadi selama tidak ada impor minyak goreng maka kebijakan satu harga tidak efektif karena kekuasaan ada pada yang memiliki minyak goreng, yaitu produsen.

Pak Kamis melanjutkan analisisnya. Kelima, kebijakan harga satu harga untuk minyak goreng merupakan momen penting bagi konsumen. Konsumen telah belajar dari antrean yang mereka “rasakan” dan alami. Oleh pakar disebut buying panic. Konsumen membeli minyak goreng bukan karena kebutuhan tapi karena mereka panik jika tidak ada minyak goreng. Buying panic ini juga memicu panjang antre minyak goreng. Kelima, yang terpenting untuk saat ini bukan harga minyak goreng yang mahal atau murah. Saat ini yang ada di masyarakat adalah antre minyak goreng. Jadi yang perlu diatasi adalah menghentikan antre minyak goreng yang dilakukan masyarakat.

Pak Kamis mengakhiri analisisnya yang penuh semangat dengan mengatakan bahwa apa yang terlontar dari bibirnya adalah ngawur yang tidak didasari keilmuan ekonomi, marketing dan ilmu hukum. “Analisis tadi adalah dari perspektif seorang bakul gorengan seperti saya”. Dan yang dapat disimpulkan bahwa minyak goreng memiliki masalah yaitu antre.

Simpulan berikutnya adalah kebijakan satu harga minyak goreng mungkin belum tepat. Kebijakan satu harga memberikan dampak domino yang berupa pembelian bersyarat yang diberikan produsen kepada masyarakat untuk mendapatkan minyak goreng. Pembelian prasyarat memaksa konsumen mengeluarkan uangnya untuk membeli barang yang tidak dibutuhkan. Hal ini memicu turunnya daya beli masyarakat. Jadi, pemerintah harus berani mengevaluasi kebijakan satu harga minyak goreng. Bahkan kalau memang hasil evaluasi perlu di ubah ya harus di ubah. Semua itu dilakukan untuk kesejahteraan masyarakat yang tercipta melalui terciptanya equilibrium baru pasar minyak goreng. Equilibrium baru tercipta maka berakhirlah antre minyak goreng.*

 

 

 

 

 

 

 

 

Related posts

Gagas RS Kontainer, Tim Mahasiswa ITS Sabet Emas

neodemokrasi

Perlunya Menguasai Fitur Kendaraan dari Manual Book

Rizki

Ini Rekomendasi Dari Pada by Hangry untuk Akhir Tahun

Rizki