Neo-Demokrasi
Ekbis Jatim

Pentingnya Analisa Fundamental dalam Berinvestasi Saham

Agung Kristiawan, S.E., M.S.A., Ak. CA.
Dosen Tetap STIESIA Surabaya

Terdapat banyak cara dalam berinvestasi, salah satunya adalah saham. Masyarakat umum dapat berinvestasi di saham melalui Bursa Efek. Para investor pemula wajib hati-hati apabila ingin berinvestasi dalam bentuk saham karena harga saham yang diperdagangkan di Bursa Efek mencerminkan berbagai macam informasi baik secara implisit maupun eksplisit. Harga saham termurah yang diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia senilai Rp. 50 dan perlu diketahui bahwa harga saham murah ataupun mahal belum tentu mencerminkan kondisi emiten atau perusahaan. Adakalanya harga saham murah dan kondisi emiten bagus dan sebaliknya juga harga saham mahal tetapi tidak sebagus kelihatannya.

Untuk bisa mengetahui apakah harga saham sesuai dengan kondisi emiten maka diperlukan suatu alat ukur yaitu analisa fundamental. Analisis fundamental adalah teknik analisa yang memperhitungkan berbagai faktor, seperti kinerja perusahaan, analisis persaingan usaha, analisis industri, analisis ekonomi dan pasar makromikro. Dari sini dapat diketahui apakah perusahaan tersebut masih sehat atau tidak. Dari analisa tersebut, investor dapat mengetahui mana perusahaan yang dalam kondisi baik dan bisa dipilih untuk investasi. Analisis fundamental merupakan instrumen untuk mengidentifikasi apakah harga saham berada di bawah atau diatas harga yang seharusnya (harga normal) pada suatu waktu tertentu. Dalam upaya untuk mendapatkan return yang tinggi, lebih dari yang biasanya, analisis fundamental mengungkapkan situasi khusus dengan menggunakan berbagai teknik penilaian.

Dengan menggunakan analisa fundamental, investor bisa mendapatkan beberapa manfaat. Pertama, dapat digunakan untuk mendeteksi saat yang tepat untuk masuk atau keluar dari pasar saham. Dengan mengetahui bagaimana kondisi ekonomi negara, investor dapat mengetahui kapan harus berinvestasi. Kedua, dapat membantu memilih saham yang baik untuk investasi. Dengan analisis industri dan keuangan perusahaan kita dapat terhindar dari memiliki perusahaan yang fundamentalnya kurang jelas. Ketiga, dapat digunakan untuk mengetahui harga wajar suatu saham. Analisis Fundamental dapat digunakan untuk mengetahui valuasi saham, yaitu berapa nominal rupiah saham itu layak dihargai.

Harga pasar saham bisa juga tercermin dalam kondisi ekonomi dan pasar makro mikro. Harga pasar saham cenderung mengalami penurunan pada saat kondisi ekonomi dan pasar mengalami resesi, seperti pada saat pandemic Covid 19 melanda negara di seluruh dunia maka kondisi di Bursa Saham mengalami penurunan sebagai akibatnya harga saham mengalami penurunan 30% sampai dengan 70% bahkan terdapat emiten yang mengalami penurunan sampai dengan 90%. Berdasarkan informasi fundamental ekonomi dan pasar, maka investor dapat membeli saham dengan harga murah dan tetap memperhatikan kondisi fundamental perusahaan. Pertengahan maret 2020 sampai dengan awal mei 2020 merupakan kondisi terjadinya penurunan harga saham secara signiifikan. Hanya emiten yang memiliki fundamental bagus yang harga saham dapat dengan segera merangkak naik menuju harga wajar normal. BBCA, BBRI, ICBP, MIKA, dan ANTM merupakan beberapa contoh emiten yang memiliki fundamental bagus sehingga tidak membutuhkan waktu lama untuk saham emiten tersebut merangkak naik dan menuju ke harga wajar normal.

Analisis industri dan persaingan usaha perlu juga dicermati oleh investor terkait pemilihan saham. Dalam analisis industri, investor mencoba membandingkan kinerja dari berbagai industri untuk mengetahui jenis industri apa saja yang memberikan prospek paling menjanjikan ataupun sebaliknya. Masalah pengelompokan industri menjadi semakin rumit ketika berhadapan dengan banyak perusahaan yang mempunyai sekian banyak ragam lini bisnis dan persaingan usaha yang semakin ketat dalam industri sejenis, contoh dalam industri keuangan terdapat banyak ragam lini bisnis dari perbankan, leasing, asuransi, dan sejenisnya. Investor wajib mencermati beberapa fase emiten untuk meminimalisir resiko dan meningkatkan keuntungan. Pertama adalah fase awal merupakan fase dimana emiten/perusahaan baru pertama kali listing di Bursa Efek yang dicirikan dengan pendapatan usaha belum begitu besar. Emiten tersebut mengalokasikan biaya untuk modal kerja awal hingga investasi usaha. Membeli saham perusahaan yang masih ada di fase awal cukup berisiko. Namun jika perusahaan ini berhasil tumbuh, maka keuntungan investor pun sangat besar. Keuntungan terbesar pada fase awal diperoleh melalui capital gain yaitu selisih antara harga jual dengan harga beli saham. Sebagai contoh harga saham emiten dengan kode ADMR (Adaro Minerals Indonesia Tbk) yang listing di bulan Januari 2022 dan sampai dengan awal agustus 2022 telah mengalami peningkatan sebesar 1.137% atau naik 113 kali.

Kedua adalah fase pertumbuhan merupakan fase dimana permintaan akan produk perusahaan yang masuk ke fase pertumbuhan sudah cukup banyak. Margin dan laba bersihnya juga sudah tumbuh, sementara itu angka kompetisinya masih tergolong rendah. Peluang akan potensi labanya juga cukup besar. Apabila investor membeli saham perusahaan dengan fase industri ini, risikonya tentu lebih kecil ketimbang yang masih di fase awal.

Ketiga adalah fase pendewasaan dimana pada fase ini pendapatan usaha dari perusahaan terbilang stabil, akan tetapi kompetisi bisnisnya juga cukup ketat karena pesaingnya cukup banyak. Tentu saja, perusahaan-perusahaan di fase ini butuh melakukan terobosan dan inovasi baru. Meskipun tergolong stabil, risiko laba tergerus tetap ada karena persaingan usaha. Oleh karena itu, jika memang pilihan investor adalah saham perusahaan di fase ini, pilihlah yang memiliki pangsa pasar lebih luas ketimbang kompetitornya.

Keempat adalah fase stabilisasi dan pendewasaan pasar merupakan fase dimana pangsa pasar dari perusahaan di fase industri ini sudah terkonsolidasi. Perusahaan ini cenderung sulit mengalami pertumbuhan, sementara itu persaingan di pasar dinilai cukup mematikan karena bentuknya dari perebutan pasar yang ketat. Berinvestasi di perusahaan seperti ini masih tetap menguntungkan. Hanya saja imbal hasilnya memang kurang menggoda karena pertumbuhan dari perusahaan ini tergolong lambat. Sebagai contoh emiten dengan kode BBCA (Bank Central Asia Tbk) dan BBRI (Bank Rakyat Indonesia Tbk).

Kelima adalah fase perlambatan merupakan fase dimana kinerja emiten mengalami perlambatan dari waktu ke waktu. Dahulu, mungkin saham perusahaan yang di fase ini adalah primadona karena diburu investor. Namun seiring dengan berjalannya waktu, pangsa pasarnya kian meredup, margin keuntungan mereka pun minus, dan persaingan usahanya juga makin mematikan. Inilah saham yang mesti investor hindari. Bisa jadi nama perusahaannya memang cukup terkenal, tapi bisnisnya sudah sunset (prospeknya suram di masa depan). Sebagai contoh saham emiten kode UNVR (Unilever Indonesia Tbk) merupakan perusahaan yang bergerak di bidang consumer good, dimana pada tahun 2017 harga saham diperdagangkan di kisaran 9.000 sampai dengan 10.000 per lembar saham dan mengalami penurunan terus sampai dengan awal agustus 2022 di harga 4.500 per lembar saham.

Terakhir , analisa kinerja emiten dengan menghitung dan menganalisa keuangan emiten serta rasio keuangan emiten. Analisa keuangan emiten meliputi : pertumbuhan pendapatan dan laba secara konsisten dalam 5 sampai dengan 10 tahun terakhir. Selanjutnya adalah pertumbuhan total asset dan total ekuitas secara konsisten dalam 5 sampai dengan 10 tahun terakhir. Rasio keuangan umumnya digunakan untuk menilai apakah harga saham tergolong murah atau mahal. Price Earning Ratio (PER) merupakan perbandingan harga saham dengan laba bersih per saham.

PER ini sering digunakan untuk mengetahui apakah saham-saham yang investor pantau harganya sudah murah atau masih mahal. Semakin tinggi PER maka semakin mahal juga harganya. Begitu pun sebaliknya makin kecil makin murah. Akan tetapi, analisis PER harus dilakukan dengan cara membandingkan PER satu saham dengan saham lain di industri sejenis, yang tentunya punya prospek bisnis yang sama. Pada umumnya jika PER memiliki nilai lebih dari 20 kali bisa dikatakan harga saham tersebut mahal apabila PER kurang dari 10 kali bisa dikatakan harga saham tersebut murah, sedang jika PER 10 kali sampai dengan 20 kali maka bisa dikatakan harga saham tersebut wajar. Masih terkait dengan PER adalah Earning Per Share / EPS, merupakan perbandingan antara laba bersih dengan jumlah lembar saham beredar. Emiten yang memiliki nilai EPS positif menunjukkan bahwa emiten tersebut mendapatkan laba dan sebaliknya EPS negatif menunjukkan bahwa emiten tersebut mengalami rugi.

Pada dasarnya EPS positif dan cenderung meningkat dari tahun ke tahun menunjukkan saham perusahaan tersebut layak untuk dibeli.
Price to Book Value / PBV merupakan salah satu analisa fundamental untuk menilai harga saham dengan membandingkan antara harga saham dengan nilai buku per saham. Semakin kecil PBV maka harga saham semakin murah dan sebaliknya semakin besar PBV maka harga saham semakin mahal. Namun perlu hati-hati menilai PBV yang kecil karena bisa jadi seolah-olah harga saham tersebut murah tetapi emiten terjerat utang. Belum tentu juga emiten dengan PBV tinggi berarti harga sahamnya mahal, bisa jadi emiten tersebut mampu menghasilkan laba tinggi sehingga harga sahamnya menjadi wajar. Nilai PBV sebesar 1 sering dijadikan pedoman, jika kurang dari 1 maka harga saham murah dan sebaliknya.

Analisis Return on Equity / ROE juga seringkali digunakan bagi para investor untuk mengambil keputusan. ROE membandingkan laba bersih dengan ekuitas. Dengan kata lain seberapa besar kemampuan perusahaan menghasilkan laba bersih dari ekuitas yang dimiliki. Apabila ROE emiten meningkat dari waktu ke waktu maka saham emiten tersebut layak untuk dibeli. Terakhir adalah Dividen Payout Ratio / DPR merupakan indikator untuk mengetahui seberapa besar persentase laba bersih yang dibagikan menjadi dividen. Semaikin tinggi DPR maka deviden yang dibagikan juga semakin besar dan sebaliknya. Umumnya, perusahaan dengan DPR tinggi adalah perusahaan dalam fase industri stabilisasi dan pendewasaan seperti BBCA dan BBRI.

Kesimpulannya bagi para investor adalah wajib menyandingkan, membandingkan, dan menganalisa semua instrumen analisa fundamental, mulai dari analisa ekonomi, analisa pasar, analisa industri dan analisa keuangan. Investor jangan hanya mengandalkan satu atau dua analisa saja.*

Related posts

Jelang Musda, REI Jatim Mulai Jaring Calon Ketua

neodemokrasi

Kapolda Jatim Cek Lokasi Satu Abad NU di GOR Delta Sidoarjo

Rizki

Grab Latih dan Dampingi Ratusan UMKM di Jatim

neodemokrasi