
Surabaya. NEODEMOKRASI.COM. Dunia pendidikan dikejutkan akan peristiwa yang terjadi di SMA 72 Kelapa Gading, Jakarta. Pertanyaan-pertanyaan pun muncul terkait kondisi pelaku baik sosial, psikologis, dan pendidikan . Ironis memang, karena sang pelaku adalah siswa masih di bawah umur. Bahkan informasi mengatakan pelaku peledakan diduga korban perundungan yang tak memiliki ruang aman untuk berlindung. Pada akhirnya mengalami repressing psikis yang menimbulkan perasaan dikeluarkan dari komunitas, dikucilkan dan tidak dihargai.
Ketidakmampuan keluarga memenuhi kebutuhan afeksi, sekolah yang terjebak dalam kompetisi pasar, serta negara yang gagal melindungi anak dari paparan digital berbahaya, dalam sebagai faktor yang saling bertautan. Oleh karena itu, ia sangat berharap kehadiran dan peran keluarga, sekolah, masyarakat, dan negara.
Terhadap kasus ini, semestinya menjadi peringatan keras bagi seluruh pemangku kepentingan untuk meninjau ulang sistem pendidikan dan struktur sosial yang ada. Diperlukan pendekatan jangka panjang yang berfokus pada kesejahteraan keluarga, lingkungan belajar yang manusiawi, dan literasi digital kritis bagi generasi muda.
“Ternyata sekolah itu bukan tempat yang aman. Sekolah itu adalah sarana. media untuk melakukan proses pendidikan dan pembelajaran. Jadi ruang di situ itu adalah ruang untuk mengedukasi anak didik kita ini baik persoalan perilaku, tingkah laku maupun juga mendapatkan ilmu pengetahuan dalam proses belajar mengajar. Dan karenanya hal yang perlu untuk kita perhatikan pelajaran dari insiden di SMA 72 itu jangan sampai kemudian mencoreng pendidika. Karena apa? Kesan yang muncul bahwa sekolah tidak tanggap dalam persoalan kewaspadaan di dalam proses pembelajaran yang terjadi di SMA 72 ” kata DR Suli Daim, anggota komisi E DPRD Jatim.
“Oleh karena itu apa yang harus dilakukan sekarang menjadi tugas bersama . Pertama proses belajar mengajar harus tetap berjalan sesuai dengan perencanaan pembelajaran di sekolah . Kedua , sekolah juga harus memahami perilaku anak yang ada di sekolah. Kenapa? Pasti bisa kita melihat kan, dari sekian jumlah murid, guru itu pasti memahami perilakuan, memahami perilakuan ini dan berarti pasti ada kontrol kan., pengawasan dalam setiap aktivitas kegiatan yang ada di sekolah. Ada kegiatan ekstrakulikuler, ada kegiatan kemudian di luar kegiatan sekolah. Kegiatan-kegiatan itu kan pasti ada guru pendamping. ” tambah politisi PAN ini.
“Oleh karena itu penguatan terhadap pengawasan anak didik di sekolah itu harus dilakukan semua stakeholder terkait di sekolah. Ya kepala sekolah, ya guru, ya tenaga kebersihan, ya kemudian security yang di sekolah itu. Sehingga apa? Hal-hal seperti itu jangan sampai kemudian terulang kembali dan itu juga efek dan dampak yang ditimbulkan juga kurang baik di dalam proses penyelenggaraan pendidikan.” jelasnya.
Lebih jauh dijelaskannya bahwa guru itu sudah mendapatkan ilmu untuk mendidik siswa secara komprehensif. . Guru BP pasti memahami ketika ada permasalahan, dan itu kan laporan dari wali kelas. Kuncinya tetap ada, semua yang terkait di dalam pendidikan di sekolah . Wali kelas kan ada, wali kelas itu bagian yang tidak disahkan dalam proses belajar-belajar di sekolah.
“Harapannya jangan sampai hal ini terulang kembali. Dan ini menjadi cermin dan pelajaran kita bersama bahwa di sekolah juga ternyata ditemukan anak dalam tanda petik berlaku yang semestinya sampai tidak terjadi. “pungkasnya.(nora)
